Jakarta –
Tiga pionir kecerdasan buatan (AI) baru-baru ini memenangkan Hadiah Nobel Fisika dan Kimia bersama Google. Namun kejayaan statistik AI diragukan oleh banyak ilmuwan.
Pada Selasa (8/10), mantan karyawan Google sekaligus bapak AI, Geoffrey Hinton, dianugerahi Hadiah Nobel Fisika bersama ilmuwan Amerika John Hopfield atas penemuan yang meletakkan dasar bagi AI saat ini.
Keesokan harinya, Demis Hassabis dan John Jumper dari Google berbagi Hadiah Nobel Kimia dengan ahli biokimia David Baker atas karya mereka yang menjelaskan struktur protein mikroskopis. Hassabis ikut mendirikan DeepMind, unit AI Google.
Konsultan AI dan pakar komputer Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Profesor Dame Wendy Hall, mengatakan prestasi dan pencapaian para penerima penghargaan patut ditonjolkan. Namun, tidak ada Hadiah Nobel untuk matematika atau ilmu komputer
“Panitia Hadiah Nobel tidak mau ketinggalan AI, jadi mereka mendorong Geoffrey ke arah fisika dan menjadi kreatif,” kata Hall Senin (14/10/2024), dilansir Reuters.
“Saya berpendapat bahwa kedua kemenangan mereka tidak mungkin terjadi, namun mereka tetap layak mendapatkan Hadiah Nobel berdasarkan ilmu pengetahuan mereka. Jadi, bagaimana Anda menghormati mereka?” – dia melanjutkan.
Menurut ilmuwan Swedia Alfred Nobel, Hadiah Nobel hanya diberikan kepada bidang kedokteran, fisika, kimia, sastra, dan perdamaian. Indikator ekonomi ditambahkan pada tahun 1968 setelah mendapat dukungan dari bank sentral Swedia.
Noah Gianciracusa, seorang profesor matematika di Universitas Bentley, setuju dengan Hall dan meragukan kemenangan Hinton. Menurutnya, kiprah Hinton dalam pengembangan kecerdasan buatan tidak dekat dengan fisika.
“Yang dia lakukan itu luar biasa, tapi fisika? Menurutku tidak. Kalaupun terinspirasi dari fisika, dalam fisika mereka tidak mengembangkan ide-ide baru, tidak memecahkan masalah lama. Di bidang fisika,” katanya. Tonton “Video Laporan Google: Talenta Digital Terbaik di Indonesia dalam Pengembangan AI” (vmp/vmp)
Leave a Reply